Sunday, 9 December 2018

Alternatif Energi Sumber Catu Daya BTS


1. LATAR BELAKANG
Telekomunikasi, khususnya seluler, tumbuh dengan sangat pesat pada dua dekade terakhir ini. Pembangunan BTS (base transceiver station) tidak hanya terpusat di kota-kota, tetapi juga merambah ke daerah pedesaan, bahkan ke pelosok-pelosok yang belum ada listriknya (off grid). Pembangunan di pelosok tersebut sebagian untuk meng-cover jalan raya antar kota ataupun untuk transmisi backbone. 
Untuk mencatu BTS di wilayah tersebut, para operator umumnya menggunakan dua buah generator set (genset) yang beroperasi secara bergantian. Namun, akhir-akhir ini, teknologi BTS semakin efisien sehingga tidak membutuhkan daya yang besar lagi dan juga tidak membutuhkan pendingin udara (AC, air conditioner). Sebagai akibatnya, genset yang ada sekarang ini memiliki daya yang lebih (oversize), sehingga bisa digunakan untuk mengisi baterei kita mencatu BTS dan setelah penuh genset dapat diistirahatkan, BTS dicatu oleh baterei. Konsep ini disebut CDC (charge discharge). Cara ini dapat menghemat penggunaan bahan bakar hingga 75 persen.
Dampak lainnya terhadap mengecilnya konsumsi daya BTS ini adalah, energi alternatif seperti panel surya (solar panel/photovoltaic), yang sebelumnya terlalu mahal untuk diterapkan karena dibutuhkan dalam jumlah besar karena, saat ini berpeluang untuk digunakan secara luas. Mungkin penggunaan panel surya ini masih lebih mahal dari sistem CDC, namun memiliki keuntungan lain yang tidak bisa dinilai dari uang, yaitu meminimalkan kunjungan rutin ke lokasi BTS untuk mengisi bahan bakar atau pemeliharaan rutin terhadap genset. Karena jumlah BTS yang semakin banyak dan ini menyulitkan pemeliharaan, operator mulai memikirkan konsep build and forget. Artinya, operator cukup membangun dan tidak perlu lagi kembali untuk melakukan pemeliharaan rutin kecuali ada kerusakan berat.
2. SUMBER ENERGI ALTERNATIF
Sebelum lebih jauh membahas solusi energi yang tepat untuk BTS, ada baiknya kita tinjau jenis-jenis energi alternatif yang ada dan berpeluang untuk diterapkan sebagai solusi energi alternatif untuk BTS.
2.1. Energi Matahari
Cahaya matahari dapat diubah menjadi energi listrik dengan menggunakan sel-sel surya (photovoltaics) yang disusun membentuk sebuah panel, sehingga disebut juga panel surya atau solar panel. Secara umum cara penggunaan energi matahari ini dibagi dua yaitu aktif dan pasif. Penggunaan secara aktif yaitu menggunakan teknologi panel surya untuk mengumpulkan energi listrik. Sementara cara penggunaan secara pasif adalah dengan cara mengatur arah bangunan, menggunakan material yang menyerap panas dan desain bangunan yang secara alami memperlancar sirkulasi udara didalam bangunan.
Hingga akhir 2011, kapasitas photovoltaic (PV) yang sudah terpasang di seluruh dunia adalah sebesar 67,000 MW.  Pembangkit PV banyak terdapat di Jerman, Itali, Spanyol dan Amerika dengan kapasitas sebesar 354 MW di padang pasir Mojaves.
2.2. Energi Angin
Dengan menggunakan kincir angin (wind turbine) angin dapat diubah menjadi listrik. Kincir angin modern berkapasitas antara 3kW sampai 5MW. Lokasi yang tepat untuk mendapatkan energi ini adalah didaerah yang berangin kencang dan konstan, yaitu antara 5 – 12 meter per detik, seperti daerah pantai atau daerah dataran tinggi.
Pertumbuhan energi angin sebesar sampai akhir 2011 sekitar 30% pertahun. Total kapasitas terpasang di seluruh dunia adalah 238.000 MW. Mayoritas digunakan di Eropa, Asia dan Amerika.
2.3. Energi Air (Hydro)
Air dapat digunakan untuk menghasilkan listrik dengan menggunakan kincir air yang disebut dengan hydroelectric. Kalau listrik yang dihasilkan tidak terlalu besar, teknologi yang digunakan disebut microhydro, listrik dari cara ini maksimal menghasilkan 100kW. Teknologi damless hydro adalah system penghasil listrik yang menggunakan energi kinetik dari aliran sungai atau gelombang laut tanpa menggunakan dam. Sekitar 3.4% energi yang dikonsumsi saat ini berasal dari hidroelektrik
2.4. Hidorgen
Hidrogen dapat menghasilkan listrik dengan menggunakan peralatan yang disebut fuel cell. Ditemukan pertama kali oleh William Grove pada tahun 1839. Secara komersial pertama kali digunakan oleh NASA untuk pembangkit energi di kapsul roket ke luar angkasa dan di satelit. Saat ini hidrogen banyak digunakan di mobil-mobil hibrida (berbakar bensin dan hidrogen). Efisiensi dari hidrogen ini berkisar 40% – 60%.
2.5. Energi Laut
Dalam hal ini termasuk marine current power, ocean thermal energi ada tidal power. Ocean thermal adalah  dengan memanfaatkan perbedaan temperatur di permukaan dan dibawah atau dibagian lebih dalam laut. Sementara tidal memanfaat pergerakan gelombang dipermukaan laut.
2.6. Biomass (plant material)
Merupakan umber renewable energi atau energi terbarukan karena energi ini berasal dari matahari. Melalui proses photosintesa, tanaman menangkap energi matahari . Dalam hal ini biomass berfungsi sebagai aki tempat penyimpanan energi surya. Biomassa telah menjadi sumber energi penting sejak orang pertama mulai membakar kayu untuk memasak makanan dan menghangatkan diri melawan dinginnya musim dingin. Kayu masih merupakan sumber yang paling umum dari energi biomassa, tetapi sumber-sumber lain dari energi biomassa meliputi tanaman pangan, rumput dan tanaman lain, limbah pertanian dan kehutanan dan residu, komponen organik dari limbah kota dan industri, bahkan gas metana dari tempat pembuangan sampah dipanen masyarakat.
Biomassa dapat digunakan untuk menghasilkan listrik dan sebagai bahan bakar untuk transportasi, atau untuk memproduksi produk yang tidak akan membutuhkan penggunaan bahan bakar fosil. 10% Energi yang digunakan oleh masyarakat saat ini berasal dari biomass, umumnya digunakan untuk pemanas atau memasak.
2.7. Biofuel
Liquid fuell atau bahan bakar bio terbagi menjadi dua yaitu bioalcohol (bioethanol) dan biodiesel. Bioethanol adalah alkohol yang didapat dari proses fermentasi gula yang ada pada tanaman. Pemakaian biofuel ini masih dengan mekanisme pencampuran dengan bahan bakar yang ada seperti biosolar. Pencampuran dilakukan masih sekitar 5%.
Brazil adalah salah satu negara yang memilik program energi terbarukan yang menggunaka metanol yang berasal dari tebu dan etanol. Penggunaannya saat ini sudah mencapai 18%.
2.8. Energi geothermal
Energi geothermal adalah energi yang dihasilkan dengan cara mengambil panas bumi. Ada 3 macam pembangkit (power plant) yang digunakan untuk mendapatkan energi dari energi geothermal, yaitu dry steam, flash, dan binary. Dry steam plants mengambil uap panas bumi dan langsung digunakan untuk menggerakan turbin yang memutar generator penghasil listrik. Flash plants mengambil air panas, biasanya bersuhu lebih dari 200 derajat Celcius, dari tanah yang kemudian mendidih pada saat naik ke permukaan dan kemudian dipisahkan antara air panas dan uap panas yang dialirkan ke turbin. Untuk binary plants, air panas mengalir melalui heat exchangers, mendidihkan cairan organic yang memutarkan turbin. Uap panas yang dimampatkan dan sisa dari cairan geothermal dari ketiga cara diatas disuntikkan lagi ke batuan panas agar menghasilkan panas lagi.
Instalasi geotermal terbesar di dunia terdapat di Geyser California dengan daya sebesar 750 MW.
Gambar 2.1. Kapasitas Pembangkit Energi Terbarukan
Sementara energi terbarukan diproduksi melalui proyek yang besar dan masal, teknologi terbarukan juga cocok untuk daerah rural atau remote, dimana masih memiliki keterbatasan energi.
Pada tahun 2011, Solar panel berukuran kecil telah digunakan untuk menghasilkan energi di jutaan rumah tangga. Demikian juga mikro hidro. Lebih dari 44 juta rumah menggunakan biogas buatan sendiri yang digunakan untuk memasak, pemanas dan penerangan.
Keprihatinan terhadap perubahan iklim, berbarengan dengan naiknya harga minya, naiknya subsidi pemerintah, mengakibat meningkatnya dorongan terhadap produksi dan komersialisasi energi terbarukan
Pemerintah di berbagai negara mulai membuat regulasi dan kebijakan untuk membantu industri terkait dengan energi terbarukan ini. Berdasarkan prediksi di 2011 oleh Internatioal  Energi Agency, energi matahari akan menjadi sumber energi listrik utama dalam 50 tahun ke depan. Hal ini akan mengurangi dampak rumah kaca secara signifikan.
Persoalan yang dihadapi saat ini untuk energi terbarukan adalah biaya untuk menghasilkan energi (generating cost) yang masih tinggi dibanding sumber energi fosil.  Selain itu, keterbatasan dan ketidakpraktisan juga menjadi hambatan. Panel surya membutuhkan tempat yang luas. Kincir angin (wind turbine) membutuhkan kecepatan angin tertentu dan tidak semua tempat memiliki kecepatan yang dibutuhkan tersebut. Sedangkan sumber energ air dan gelombang laut, tidak selalu tersedia di semua tempat.
Melambungnya harga minyak bumi, menipisnya sumber energi fosil dan isu pemanasan global, membuat masyarakat dunia mulai kembali melirik energi terbarukan seperti energi matahari, angin, biomas, geothermal, dan lain-lain. Untuk keperluan komersial seperti di telekomunikasi, energi listrik yang berasal dari PLN merupakan energi termurah yang bisa diperoleh, meskipun menggunakan tarif yang diberlakukan oleh PLN terhadap ATSI (Asosiasi Telepon Seluler Indonesia) yang lebih tinggi dari tarif lainnya (rumah dan perkantoran), yaitu Rp 1.200/kWh, sementara rumah tangga dan perkantoran masih sekitar Rp. 900.- /kWh. Namun, tidak semua lokasi ada PLN. Untuk kondisi ini hybrid energi menjadi pertimbangan.
3.       PEMBANGKIT ENERGI TERBARUKAN
Sistem pembangkit energi hibrida (hybrid energy) merupakan teknologi pengembangan energi listrik yang memadukan dua atau lebih sumber energi, seperti energi matahari, angin dan air. Karena keterbatasan dengan lokasi terhadap aliran air, sumber pembangkit air hanya dikembangkan di daerah-daerah tertentu saja. Sehingga, yang paling banyak digunakan saat ini adalah kombinasi antara energi angin dan matahari.
Konfigurasi energi hibrida yang umum dilakukan adalah sebagai berikut:
a.       Genset dan solar panel
b.      Genset dan wind turbine
c.       Solar panel dan wind turbine
Sebelum lebih jauh membahas hibrid dari energi hibrida, terlebih akan dibahas lebih detail mengenai energi angin dan energi matahari yang akan kita jadikan sumber energi alternatif  hibrida.
3.1. Energi Angin
Pemanfaat energi angin di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini dikarenakan kecepatan angin di sebagian besar wilayah Indonesia kurang dari kebutuhan untuk menggerakkan kincir angin masih terbatas. Kecepatan angin di wilayah indonesia diperlihatkan seperti pada gambar 3.1.
Gambar 3.1. Peta Kecepatan Angin di Wilayah Indonesia (Sumber: LAPAN)
 Sebagian besar wilayah di Indonesia berada di Class 1 dengan kecepatan angin antara 0 hingga 4.4 meter/detik. Di wilayah selatan khatulistiwa berada di Class 2 dengan kecepatan: 4.4 m/det – 5.1 m/detik. Sebagian kecil  berada di Class 3 dengan kecepatan 5.1 m/det – 6.0 m/det., seperti Nusa Tenggara dan Timor.
Gambar 3.2. Daya yang Dihasilkan Wind Turbine Pada Kecepatan Angin Tertentu
Gambar 3.3. Pengaruh perubahan kecepatan angin terhadap persentase daya yang dihasilkan
Hasil perhitungan yang digambarkan dengan grafik pada gambar 3.2 dapat dilihat bahwa kecepatan angin sekitar 5 m/detik merupakan cut in wind speed, ini artinya kecepatan minimal yang dibutuhkan sebuah kincir angin (wind turbine) untuk bisa menghasilkan daya listrik adalah di sekitar kecepatan angin 5 m/detik, tergantung dari jenis dan spesifikasi kincir angin yang digunakan.
Persentase keluaran daya berubah linier terhadap kenaikan kecepatan angin mulai dari 2 m/detik hingga 9 m/detik. Gambar 3.3 menggambarkan bagaimana pengaruh keluaran daya terhadap perubahan kecepatan angin.
Dari gambaran di atas dapat kita simpulkan bahwa energi angin masih belum efektif diterapkan di wilayah Indonesia. Namun demikian masih ada peluang sepanjang nilai investasinya dan ongkos operasionalnya lebih rendah daripada harga BBM ketika melambung tinggi.
 3.2. Energi Matahari
Sebagai wilayah yang terletak di daerah tropis, Indonesia menerima sinar matahari relatif lebih banyak dari wilayah lainnya. Namun, seperti halnya angin, energi yang dihasilkan oleh sel surya (solar panel) juga tergantung dari intensitas radiasi yang berbeda-beda di setiap wilayah di permukaan bumi. Seperti diperlihatkan pada gambar 3.4. 
Gambar 3.4. Peta Radiasi Matahari di Indonesia (Sumber: LAPAN)
Gambar 3.5. Grafik Radiasi Matahari Sepanjang Tahun di Berbagai Lintang
Sebagian besar wilayah Indonesia berada di indeks radiasi 4.5, dan sebagian kecil 5.0. dan 4.0,  sangat cocok menggunakan energi matahari sebagai sumber daya. Terlebih lagi posisi Indonesia di wilayah khatulistiwa yang mendapat sinar matahari sepanjang tahun dengan fluktuasi energi berkisar di 35 MJ/m2, seperti diperlihatkan di grafik pada gambar 3.5.
Dari kedua sumber ener-gi tersebut, maka pola hibrida yang sesuai adalah solar surya de-ngan generator (genset). Genset dipilih sebagai cadangan (backup) ma-nakala matahari tidak dapat menyinari meski autonomus tiga hari. Dengan demikian pema-kaian bahan bakar fosil dapat ditekan seminal mungkin.
 4.       SOLUSI ENERGI UNTUK BTS DI OFF GRID AREA
Idealnya, BTS hanya dicatu dengan solar panel dan di-backup oleh baterei. Dengan cara demikian biaya operasional (OPEX) dapat ditekan mendekati nol, operasional BTS dapat dikategorikan 100 persen green BTS dan hanya akan ada penggantian terhadap baterei antara 4 – 5 tahun sekali. Akan tetapi, selain konsumsi daya di BTS saat ini umumnya masih cukup besar, keterbatasan lahan di BTS  membatasi jumlah panel yang dapat dipasang.
Pada bagian ini akan dilakukan perhitungan biaya energi (cost of energy, COE) per kWh jika menggunakan 100 persen solar panel dan tinjuan terhadap luas lahan yang dibutuhkan. Selanutnya dilakukan perhitungan solar panel yang didasarkan atas luas lahan tipikal yang tersedia pada lokasi BTS yang ada. Ukurannya umumnya 15×15 meter persegi dikurang alokasi lahan untuk menara. Kekurangan dayanya akan diperhitungkan dengan menggunakan genset.
Hasil perihitungan terebut dibandingkan jika kita menggunakan genset dan baterei (CDC) dan dua unit genset (Double Genset).
 4.1.  Perhitungan Biaya Energi dengan Menggunakan Solar Panel
Dalam perhitungan ini, beban BTS mengacu kepada standar tipikal BTS yang digunakan di site seperti digambarkan pada tabel berikut ini:
Tabel 4.1. Rincian Daya di Lokasi BTS
Dengan asumsi beban merata 2.4 kW sepanjang hari dan energi dari matahari yang dapat dimanfaatkan adalah 6 jam sehari, maka dapat dilakukan perhitungan kebtuhan energi sebagai berikut dan ukuran (dimensioning) baterei dan solar panel sebagai berikut.
Tabel 4.2. Perhitungan kebutuhan Energi di Lokasi BTS
Langkah selanjutnya adalah menghitung kapasitas baterei yang dibutuhkan untuk menyimpan energi matahari dan mem-backup beban ketika tidak ada matahari.
Tabel 4.3. Perhitungan Kebutuhan Baterai
Sebenarnya, beban 2.4 kW tersebut fluktuatif setiap jam sepanjang hari. Hal ini disebabkan konsumsi daya tergantung jumlah trafik yang ada di BTS. Umumnya naik mulai dari jam 8 pagi hingga turun kembali setelah pukul 8 malam. Sementara itu matahari dapat dimanfaatkan secara optimal antara pukul 10 pagi hingga pukul 4 sore. Fluktuasi beban dan pola radiasi matahari diperlihatkan pada gambar 4.1. 
Gambar 4.1. Energi Matahari yang Diterima Dibandingkan Daya yang Digunakan untuk Transmisi
Dari tabel 4.2 dan 4.3. diketahui bahwa jumlah energi yang dibutuhkan per harinya, selama 24 jam, adalah 57.6 kWh. Energi tersebut, selama 6 jam diambil langsung dari solar panel dan sisanya 18 jam diambil dari bateri. Akan tetapi belum termasuk pengisian baterei (charging). Untuk menentukan total energi yang digunakan harus diperhitungkan kapasitas backup ketika tidak ada matahari  yang dikenal dengan autonomous. Aurtonomous dibuat 1 hari (24 jam). Sehingga total energi yang dibutuhkan per hari adalah 100.8 kWh. Energi ini diuganakan untuk mencatu beban dan mengisi baterei. Dari tabel tabel hasil perhitungan dapat dilihat bahwa dibutuhkan batere sebesar 8.333 Ah. Karena kita akan menggunakan baterei 1000 Ah per bank, maka jumlah bank yang dibutuhkan adalah 9 bank (pembulatan ke atas dari hasil perhitungan 8.3 bank). Satu bank baterei bertegangan 48 Volt, dengan kapasitas 1000 Ah yang terdiri dari 24 blok baterei yang bertegangan 2 Volt. Jadi, total ada 9 bank yang diparalel.
Tabel 4.4. Perhitungan Kebutuhan Solar Panel
Dengan rata-rata penyinaran 6 jam per hari dan derating factor 0.9, dan beban kebutuhan energi seperti pada tabel 4.2 dan 4.3, maka dibutuhkan kapasitas solar panel sebesar 18.7 kW untuk menghasilkan energi sebesar 1296 kWh per hari. Jika digunakan solar panel dengan kapasitas 240 Watt per panel, maka jumlah panel yang dibutuhkan adalah 77.8 panel, atau dibulatkan ke atas menjadi 78 panel.Tabel 4.4 Perhitungan Kebutuhan Solar Panel
Dengan dimensi panel 1685 mm x 993 mm, maka ke-78 panel tersebut dapat disusun di lokasi BTS yang umumnya memiliki ukuran tipikal 15m x 15m.  Susunan solar panel diilustrasikan pada gambar 4.2. 
Gambar 4.2. Susunan Solar Panel di Lokasi BTS
Baterei dengan kapasitas 9 bank dapat ditempatkan di dalam kabinet di bawah solar panel.
Tabel 4.5. Perhitungan Biaya Investasi Awal
Dengan mengambil harga solar panel USD 2 per Watt-nya, berikut perangkat charge controller, maka untuk kapasitas solar panel 18.7 kW diperlukan biaya sebesar USD 37.440. Sedangkan untuk baterei, dengan menggunakan harga baterei di pasaran rata-rata USD 10 per Ah untuk kapasitas besar, maka investasi untuk baterei  yang dibutuhkan adalah USD 90.000,- Setelah ditambah dengan inverter, total biaya menjadi USD 127,940.Tabel 4.5. Perhitungan Biaya Investasi Awal
Jika sistem solar panel ini dioperasikan selama 4 tahun, maka total energi yang terpakai untuk mencatu BTS dengan beban total 2.4 kW adalah 2.4kW x 4 x 365  x 24 jam atau 84,096 kWh. Sehingga diperoleh COE (cost of energy) atau biaya per kWh-nya adalah USD 127,940/84,096 kWh atau USD 1.52/kWh. Dengan kurs Rp 9,000/USD, maka COE nya Rp 13,692/kWh. Jika perhitungan COE ini mengacu ke kapasitas produksi solar panel perhari, yaitu 187 kWh/hari (termasuk untuk mencatu beban dan mengisi baterei), maka COE nya adalah USD 0.87/kWh atau Rp 7.824/kWh. Bandingkan dengan tarif PLN ke pelanggan ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia)  yang hanya Rp 1.200/kWh. COE Solar panel masih jauh lebih tinggi dari energi PLN. Namun, karena yang kita bahas adalah site yang berada di lokasi off grid (tanpa PLN), maka harus dibandingkan dengan CDC atau dual genset.
Dengan memasukkan parameter yang sama pada aplikasi simulasi HOMER, diperoleh hasil seperti pada gambar berikut ini:
Gambar 4.3. Hasil Simulasi dengan Menggunakan Aplikasi HOMER
Terdapat perbedaan dalam hal biaya investasi. Hasil simulasi dengan HOMER adalah USD 92,963. Sementara hasil perhitungan manual adalah USD 87,588. Perbedaan ini disebabkan karena pada perhitungan manual, jumlah jam dalam sehari yang terkena sinar matahari hanya 6 jam. Dengan HOMER penrhitungan dilakukan dari fraksi jam (bukan harian seperti manual) dengan men-simulasikan berdasarkan data yang diambil dari NASA. Disamping itu HOMER tidak memperhitungkan autonomi 1 hari (total 24+18 jam atau 30 jam) sehingga biaya invesstasi lebih kecil.
Perbedaan juga terjadi pada perhitungan COE. Dari hasil simulasi dengan HOMER adalah USD 0.59/kWh, sementara perhitungan manual USD 0.83/kWh atau USD 1.04/kWh. Perbedaan ini masih disebabkan oleh biaya investasi yang rendah di HOMER karena tidak mengantisipasi autonomi selama 30 jam. Penyebab lainnya adalah pengambilan periode investasi yang berbeda antara perhitungan manual dan simulasi HOMER.
4.2. Sistem Charge Discharge (CDC)
Pada kondisi dimana PLN tidak ada (jauh dari BTS), maka upaya lain yang dapat dilakukan adalah mengkonversi BTS yang dicatu oleh dua genset menjadi BTS yang dicatu dari satu genset ditambah baterei atau dikenal dengan istilah CDC (Charge DisCharge). Konversi ini lebih murah karena hanya menambahkan satu atau beberapa bank baterei dan power supply (rectifier) serta controller. Salah satu genset dinonaktifkan dan bisa digunakan atau direlokasi ke site BTS lain yang membutuhkannya.
Dengan konversi site yang beroperasi dengan dua unit genset bergantian menjadi CDC, pemakain BBM dapat ditekan dari 24 jam hingga menjadi sekitar 6 jam atau bahkan lebih rendah lagi, tergantung dari besarnya beban/kodnisi trafik dan kapasitas genset yang tersedia. Tabel berikut ini memperlihatkan contoh beban di BTS yang dikonversi dari dual genset menjadi CDC. Dengan beban 2 kilowatt dan genset 2×20 kVA, dapat dikonversi menjadi sistem CDC dengan siklus 3 jam charge (mengisi baterei) dan 9 jam discharge berulang 2 kali dalam sehari atau total dalam 24 jam genset bekerja hanya 6 jam dan battery discharge selama 18 jam. Hal ini dimungkinkan karena kapasitas genset yang berlebih dapat digunakan  untuk mengisi baterei. Setelah baterei penuh, genset istirahat bekerja dan beban dicatu oleh energi dari baterei.
Perhitungan biaya investasi CDC dan biaya operasi selama 4 tahun dapat dilihat pada tabel 4.6 dan 4.7 berikut ini. 
Tabel 4.6. Perhitungan Investasi CDC
Perhitungan investasi CDC pada tabel 4.6 didasarkan pada beban sebesar 2 kilo Watt seperti dirinci pada Tabel 4.1. Genset yang digunakan 20 kVA (16 kW) pada dasarnya adalah menggunakan genset yang ada, namun dalam hal ini dianggap sebagai investasi baru. Kapasitas 20 kVA cukup optimal untuk CDC 6 jam charge 18 jam discharge (2 cycle per hari).
Tahun kedua dilakukan penggantian baterei dikarenakan baterei yang ada dirancang untuk beroperasi 1500 cycle dengan 2 cycle per hari.
Tabel 4.7. Perhitungan Biaya Operasional CDC Selama 4 tahun
Untuk genset berkapasitas 20 kVA atau 16 kW, biaya operasional per jam berdasarkan pengalaman di lapangan adalah USD 3.9 per jam. Biaya tersebut sudah termasuk BBM (sekitar 3.5 liter/jam) dan pemeliharaan rutin. Jika dihitung TCO (Total Cost of Ownership), yaitu total CAPEX dan OPEX selama 4 tahun adalah USD 54,600 + USD 34,798 atau USD 89,398. Dengan mengambil nilai efisiensi genset sebesar 90%, maka energi yang dihasilkan sepanjang 4 tahun adalah 16 kW x 90% x 8760 jam atau  126,144 kWh. Dengan demikian biaya per kWh adalah USD 0.71 per kWh atau Rp 6,378/kWh dengan kurs Rp 9000/USD. Kalau COE dihitung berdasarkan beban yang dicatu, yaitu 2kW, maka selama 4 tahun energi yang digunakan oleh BTS adalah 70,080 kWh sehingga COE nya adalah USD 1.28/kWh atau sekitar Rp 11.481/kWh.
Jika dibandingkan dengan solar panel, CDC masih lebih murah dalam hal COE. Akan tetapi, mari kita perhatikan bersama, bahwa untuk solusi BTS dengan total beban 2 kW,  TCO solar panel masih lebih murah, yaitu USD 87,380. Sementara dengan CDC adalah USD 89,398.
Keuntungan lain dengan solar panel adalah tidak perlu khawatir dengan pengisian BBM, BBM dicuri ataupun pemeliharaan genset. Juga tidak perlu khawatir genset gagal berfungsi atau gagal switch over (kerusakan ATS).
 4.3. Double Genset
Sebelum ditemukan konsep CDC, double genset pada awalnya merupakan solusi termudah dan tercepat untuk lokasi-lokasi BTS yang tidak terjangkau oleh jaringan PLN, setidaknya sebelum ditemukan solusi dengan menggunakan CDC. Tabel 4.8 dan tabel 4.9 memperlihatkan biaya CAPEX dan OPEX pembangunan double genset 15 kVA.
Tabel 4.8. Biaya Investasi Double Genset
Penggunaan genset dengan kapasitas 15 kVA sebenarnya berlebihan untuk BTS dengan teknologi baru yang lebih efisien saat ini. Akan tetapi sebagian site yang berlokasi remote tersebut juga ditempat transmisi backbone, sehingga disamping bebannya lebih besar, juga membutuhkan sistem pendingin (Air Contitioner)
Tabel 4.9. Biaya Operasional Double Genset Selama 4 Tahun
OPEX site dengan double genset terdiri dari bahann bakar (BBM) dan biaya pemeliharaan genset. Rata-rata, berdasarkan pengalaman dan perhitungan, per jam operasional genset membutuhkan biaya USD 4, termasuk BBM dan pemeliharaan.
Dengan efisiensi genset sebesar 90%, maka total energi yang dihasilkan selama 4 tahun oleh kedua genset 15 kVA (12 kW) adalah  378,432 kWh.  Jika diasumsikan load yang ada di site tersebut adalah 2 kW, maka total energi terpakai adalah 70,080 kWh.
TCO (Total Cost Ownership) selama empat tahun untuk operasional doubel genset adalah  USD 199,164. Dari biaya tersebut,dapat diperkirakan COE (Cost of Energy) terhadap energi yang diproduksi adalah USD 0.53/ kWh atau Rp 4,736/kWh. Jika dihitung terhadap energi yang terpakai, makah COE nya adalah USD 2.84/kWh atau Rp 25,578/kWh 
5. KESIMPULAN
Di tengah persaingan bisnis telekomunikasi yang semakin ketat, para operator mulai berusaha melirik semua alternatif energi yang mungkin. Saaran utama adalah menekan biaya. Faktor utama yang dilihat adalah Cost of Energy (COE) dan Total Cost of Ownership (TCO). Dari beberapa alternatif, paling disukai adalah solar panel, karena tidak perlu direpotkan dengan pemeliharaan rutin seperti pengisian BBM, servis berkala dan juga masalah kegagalan seperti genset tidak bisa start atau ATS (automatic transfer switch) tidak berfungsi sehingga genset bisa beroperasi tapi tidak bisa menyuplai beban dan masih banyak masalah lain. Kelebihan solar panel adalah tidak menghasilkan polusi, baik polusi udara maupun polusi suara.
Akan tetapi, yang menjadi kendala saat ini adalah TCO solar panel yang masih relatif tinggi dibanding CDC (Charge Dis-Charge) misalnya. Selain itu masalah luas area juga menjadi masalah.
Dari uraian di atas, berikut ini ringkasan COE dan TCO untuk masing-masing sumber energi yang mungkin digunakan.
Tabel 5.1. COE dan TCO 2 Genset, Solar Panel, CDC dan PLN Selama 4 Tahun
PLN memang paling murah, tapi tidak semua lokasi tersedia jaringan PLN. Alternatif yang paling mungkin adalah CDC. Namun demikian, dengan semakin kecilnya konsumsi energi BTS jenis baru dan semakin murahnya harga solar panel bukana tidak mungkin dalam waktu dekat ini solar panel menjadi sumber energi utama bagi BTS-BTS, setidaknya di wilayah yang tidak terdapat jaringan PLN.
 6. DAFTAR PUSTAKA

No comments:

Post a Comment