1. LATAR BELAKANG
Telekomunikasi, khususnya seluler, tumbuh dengan sangat pesat pada dua dekade terakhir ini. Pembangunan BTS (base transceiver station)
tidak hanya terpusat di kota-kota, tetapi juga merambah ke daerah
pedesaan, bahkan ke pelosok-pelosok yang belum ada listriknya (off grid). Pembangunan di pelosok tersebut sebagian untuk meng-cover jalan raya antar kota ataupun untuk transmisi backbone.
Untuk mencatu BTS di wilayah tersebut, para operator umumnya menggunakan dua buah generator set (genset)
yang beroperasi secara bergantian. Namun, akhir-akhir ini, teknologi
BTS semakin efisien sehingga tidak membutuhkan daya yang besar lagi dan
juga tidak membutuhkan pendingin udara (AC, air conditioner). Sebagai akibatnya, genset yang ada sekarang ini memiliki daya yang lebih (oversize), sehingga
bisa digunakan untuk mengisi baterei kita mencatu BTS dan setelah penuh
genset dapat diistirahatkan, BTS dicatu oleh baterei. Konsep ini
disebut CDC (charge discharge). Cara ini dapat menghemat penggunaan bahan bakar hingga 75 persen.
Dampak lainnya terhadap mengecilnya konsumsi daya BTS ini adalah, energi alternatif seperti panel surya (solar panel/photovoltaic),
yang sebelumnya terlalu mahal untuk diterapkan karena dibutuhkan dalam
jumlah besar karena, saat ini berpeluang untuk digunakan secara luas.
Mungkin penggunaan panel surya ini masih lebih mahal dari sistem CDC,
namun memiliki keuntungan lain yang tidak bisa dinilai dari uang, yaitu
meminimalkan kunjungan rutin ke lokasi BTS untuk mengisi bahan bakar
atau pemeliharaan rutin terhadap genset. Karena jumlah BTS yang semakin
banyak dan ini menyulitkan pemeliharaan, operator mulai memikirkan
konsep build and forget. Artinya, operator cukup membangun dan tidak perlu lagi kembali untuk melakukan pemeliharaan rutin kecuali ada kerusakan berat.
2. SUMBER ENERGI ALTERNATIF
Sebelum
lebih jauh membahas solusi energi yang tepat untuk BTS, ada baiknya kita
tinjau jenis-jenis energi alternatif yang ada dan berpeluang untuk
diterapkan sebagai solusi energi alternatif untuk BTS.
2.1. Energi Matahari
Cahaya matahari dapat diubah menjadi energi listrik dengan menggunakan sel-sel surya (photovoltaics) yang disusun membentuk sebuah panel, sehingga disebut juga panel surya atau solar panel.
Secara umum cara penggunaan energi matahari ini dibagi dua yaitu aktif
dan pasif. Penggunaan secara aktif yaitu menggunakan teknologi panel
surya untuk mengumpulkan energi listrik. Sementara cara penggunaan
secara pasif adalah dengan cara mengatur arah bangunan, menggunakan
material yang menyerap panas dan desain bangunan yang secara alami
memperlancar sirkulasi udara didalam bangunan.
Hingga akhir 2011, kapasitas photovoltaic (PV) yang sudah terpasang di seluruh dunia adalah sebesar 67,000 MW. Pembangkit PV banyak terdapat di Jerman, Itali, Spanyol dan Amerika dengan kapasitas sebesar 354 MW di padang pasir Mojaves.
2.2. Energi Angin
Dengan menggunakan kincir angin (wind turbine)
angin dapat diubah menjadi listrik. Kincir angin modern berkapasitas
antara 3kW sampai 5MW. Lokasi yang tepat untuk mendapatkan energi ini
adalah didaerah yang berangin kencang dan konstan, yaitu antara 5 – 12
meter per detik, seperti daerah pantai atau daerah dataran tinggi.
Pertumbuhan energi angin sebesar sampai akhir 2011 sekitar 30% pertahun. Total kapasitas terpasang di seluruh dunia adalah 238.000 MW. Mayoritas digunakan di Eropa, Asia dan Amerika.
2.3. Energi Air (Hydro)
Air dapat
digunakan untuk menghasilkan listrik dengan menggunakan kincir air yang
disebut dengan hydroelectric. Kalau listrik yang dihasilkan tidak
terlalu besar, teknologi yang digunakan disebut microhydro,
listrik dari cara ini maksimal menghasilkan 100kW. Teknologi damless
hydro adalah system penghasil listrik yang menggunakan energi kinetik
dari aliran sungai atau gelombang laut tanpa menggunakan dam. Sekitar
3.4% energi yang dikonsumsi saat ini berasal dari hidroelektrik
2.4. Hidorgen
Hidrogen
dapat menghasilkan listrik dengan menggunakan peralatan yang disebut
fuel cell. Ditemukan pertama kali oleh William Grove pada tahun 1839.
Secara komersial pertama kali digunakan oleh NASA untuk pembangkit
energi di kapsul roket ke luar angkasa dan di satelit. Saat ini hidrogen
banyak digunakan di mobil-mobil hibrida (berbakar bensin dan hidrogen).
Efisiensi dari hidrogen ini berkisar 40% – 60%.
2.5. Energi Laut
Dalam hal ini termasuk marine current power, ocean thermal energi ada tidal power. Ocean thermal adalah dengan
memanfaatkan perbedaan temperatur di permukaan dan dibawah atau
dibagian lebih dalam laut. Sementara tidal memanfaat pergerakan
gelombang dipermukaan laut.
2.6. Biomass (plant material)
Merupakan
umber renewable energi atau energi terbarukan karena energi ini berasal
dari matahari. Melalui proses photosintesa, tanaman menangkap energi
matahari . Dalam hal ini biomass berfungsi sebagai aki tempat
penyimpanan energi surya. Biomassa telah menjadi sumber energi penting
sejak orang pertama mulai membakar kayu untuk memasak makanan dan
menghangatkan diri melawan dinginnya musim dingin. Kayu masih merupakan
sumber yang paling umum dari energi biomassa, tetapi sumber-sumber lain
dari energi biomassa meliputi tanaman pangan, rumput dan tanaman lain,
limbah pertanian dan kehutanan dan residu, komponen organik dari limbah
kota dan industri, bahkan gas metana dari tempat pembuangan sampah
dipanen masyarakat.
Biomassa
dapat digunakan untuk menghasilkan listrik dan sebagai bahan bakar untuk
transportasi, atau untuk memproduksi produk yang tidak akan membutuhkan
penggunaan bahan bakar fosil. 10% Energi yang digunakan oleh masyarakat
saat ini berasal dari biomass, umumnya digunakan untuk pemanas atau
memasak.
2.7. Biofuel
Liquid fuell atau bahan bakar bio terbagi menjadi dua yaitu bioalcohol (bioethanol) dan biodiesel.
Bioethanol adalah alkohol yang didapat dari proses fermentasi gula yang
ada pada tanaman. Pemakaian biofuel ini masih dengan mekanisme
pencampuran dengan bahan bakar yang ada seperti biosolar. Pencampuran
dilakukan masih sekitar 5%.
Brazil
adalah salah satu negara yang memilik program energi terbarukan yang
menggunaka metanol yang berasal dari tebu dan etanol. Penggunaannya saat
ini sudah mencapai 18%.
2.8. Energi geothermal
Energi geothermal adalah energi yang dihasilkan dengan cara mengambil panas bumi. Ada 3 macam pembangkit (power plant) yang digunakan untuk mendapatkan energi dari energi geothermal, yaitu dry steam, flash, dan binary.
Dry steam plants mengambil uap panas bumi dan langsung digunakan untuk
menggerakan turbin yang memutar generator penghasil listrik. Flash
plants mengambil air panas, biasanya bersuhu lebih dari 200 derajat
Celcius, dari tanah yang kemudian mendidih pada saat naik ke permukaan
dan kemudian dipisahkan antara air panas dan uap panas yang dialirkan ke
turbin. Untuk binary plants, air panas mengalir melalui heat exchangers,
mendidihkan cairan organic yang memutarkan turbin. Uap panas yang
dimampatkan dan sisa dari cairan geothermal dari ketiga cara diatas
disuntikkan lagi ke batuan panas agar menghasilkan panas lagi.
Instalasi geotermal terbesar di dunia terdapat di Geyser California dengan daya sebesar 750 MW.
Sementara
energi terbarukan diproduksi melalui proyek yang besar dan masal,
teknologi terbarukan juga cocok untuk daerah rural atau remote, dimana
masih memiliki keterbatasan energi.
Pada tahun
2011, Solar panel berukuran kecil telah digunakan untuk menghasilkan
energi di jutaan rumah tangga. Demikian juga mikro hidro. Lebih dari 44
juta rumah menggunakan biogas buatan sendiri yang digunakan untuk
memasak, pemanas dan penerangan.
Keprihatinan
terhadap perubahan iklim, berbarengan dengan naiknya harga minya,
naiknya subsidi pemerintah, mengakibat meningkatnya dorongan terhadap
produksi dan komersialisasi energi terbarukan
Pemerintah
di berbagai negara mulai membuat regulasi dan kebijakan untuk membantu
industri terkait dengan energi terbarukan ini. Berdasarkan prediksi di
2011 oleh Internatioal Energi Agency, energi matahari akan
menjadi sumber energi listrik utama dalam 50 tahun ke depan. Hal ini
akan mengurangi dampak rumah kaca secara signifikan.
Persoalan yang dihadapi saat ini untuk energi terbarukan adalah biaya untuk menghasilkan energi (generating cost) yang masih tinggi dibanding sumber energi fosil. Selain itu, keterbatasan dan ketidakpraktisan juga menjadi hambatan. Panel surya membutuhkan tempat yang luas. Kincir angin (wind turbine)
membutuhkan kecepatan angin tertentu dan tidak semua tempat memiliki
kecepatan yang dibutuhkan tersebut. Sedangkan sumber energ air dan
gelombang laut, tidak selalu tersedia di semua tempat.
Melambungnya
harga minyak bumi, menipisnya sumber energi fosil dan isu pemanasan
global, membuat masyarakat dunia mulai kembali melirik energi terbarukan
seperti energi matahari, angin, biomas, geothermal, dan lain-lain.
Untuk keperluan komersial seperti di telekomunikasi, energi listrik yang
berasal dari PLN merupakan energi termurah yang bisa diperoleh,
meskipun menggunakan tarif yang diberlakukan oleh PLN terhadap ATSI
(Asosiasi Telepon Seluler Indonesia) yang lebih tinggi dari tarif
lainnya (rumah dan perkantoran), yaitu Rp 1.200/kWh, sementara rumah
tangga dan perkantoran masih sekitar Rp. 900.- /kWh. Namun, tidak semua
lokasi ada PLN. Untuk kondisi ini hybrid energi menjadi pertimbangan.
3. PEMBANGKIT ENERGI TERBARUKAN
Sistem pembangkit energi hibrida (hybrid energy)
merupakan teknologi pengembangan energi listrik yang memadukan dua atau
lebih sumber energi, seperti energi matahari, angin dan air. Karena
keterbatasan dengan lokasi terhadap aliran air, sumber pembangkit air
hanya dikembangkan di daerah-daerah tertentu saja. Sehingga, yang paling
banyak digunakan saat ini adalah kombinasi antara energi angin dan
matahari.
Konfigurasi energi hibrida yang umum dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Genset dan solar panel
b. Genset dan wind turbine
c. Solar panel dan wind turbine
Sebelum
lebih jauh membahas hibrid dari energi hibrida, terlebih akan dibahas
lebih detail mengenai energi angin dan energi matahari yang akan kita
jadikan sumber energi alternatif hibrida.
3.1. Energi Angin
Pemanfaat
energi angin di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini dikarenakan
kecepatan angin di sebagian besar wilayah Indonesia kurang dari
kebutuhan untuk menggerakkan kincir angin masih terbatas. Kecepatan
angin di wilayah indonesia diperlihatkan seperti pada gambar 3.1.
Sebagian
besar wilayah di Indonesia berada di Class 1 dengan kecepatan angin
antara 0 hingga 4.4 meter/detik. Di wilayah selatan khatulistiwa berada
di Class 2 dengan kecepatan: 4.4 m/det – 5.1 m/detik. Sebagian kecil berada di Class 3 dengan kecepatan 5.1 m/det – 6.0 m/det., seperti Nusa Tenggara dan Timor.
Hasil
perhitungan yang digambarkan dengan grafik pada gambar 3.2 dapat dilihat
bahwa kecepatan angin sekitar 5 m/detik merupakan cut in wind speed,
ini artinya kecepatan minimal yang dibutuhkan sebuah kincir angin (wind
turbine) untuk bisa menghasilkan daya listrik adalah di sekitar
kecepatan angin 5 m/detik, tergantung dari jenis dan spesifikasi kincir
angin yang digunakan.
Persentase
keluaran daya berubah linier terhadap kenaikan kecepatan angin mulai
dari 2 m/detik hingga 9 m/detik. Gambar 3.3 menggambarkan bagaimana
pengaruh keluaran daya terhadap perubahan kecepatan angin.
Dari
gambaran di atas dapat kita simpulkan bahwa energi angin masih belum
efektif diterapkan di wilayah Indonesia. Namun demikian masih ada
peluang sepanjang nilai investasinya dan ongkos operasionalnya lebih
rendah daripada harga BBM ketika melambung tinggi.
3.2. Energi Matahari
Sebagai
wilayah yang terletak di daerah tropis, Indonesia menerima sinar
matahari relatif lebih banyak dari wilayah lainnya. Namun, seperti
halnya angin, energi yang dihasilkan oleh sel surya (solar panel) juga
tergantung dari intensitas radiasi yang berbeda-beda di setiap wilayah
di permukaan bumi. Seperti diperlihatkan pada gambar 3.4.
Sebagian besar wilayah Indonesia berada di indeks radiasi 4.5, dan sebagian kecil 5.0. dan 4.0, sangat
cocok menggunakan energi matahari sebagai sumber daya. Terlebih lagi
posisi Indonesia di wilayah khatulistiwa yang mendapat sinar matahari
sepanjang tahun dengan fluktuasi energi berkisar di 35 MJ/m2, seperti
diperlihatkan di grafik pada gambar 3.5.
Dari kedua
sumber ener-gi tersebut, maka pola hibrida yang sesuai adalah solar
surya de-ngan generator (genset). Genset dipilih sebagai cadangan (backup)
ma-nakala matahari tidak dapat menyinari meski autonomus tiga hari.
Dengan demikian pema-kaian bahan bakar fosil dapat ditekan seminal
mungkin.
4. SOLUSI ENERGI UNTUK BTS DI OFF GRID AREA
Idealnya, BTS hanya dicatu dengan solar panel dan di-backup
oleh baterei. Dengan cara demikian biaya operasional (OPEX) dapat
ditekan mendekati nol, operasional BTS dapat dikategorikan 100 persen green BTS
dan hanya akan ada penggantian terhadap baterei antara 4 – 5 tahun
sekali. Akan tetapi, selain konsumsi daya di BTS saat ini umumnya masih
cukup besar, keterbatasan lahan di BTS membatasi jumlah panel yang dapat dipasang.
Pada bagian ini akan dilakukan perhitungan biaya energi (cost of energy, COE)
per kWh jika menggunakan 100 persen solar panel dan tinjuan terhadap
luas lahan yang dibutuhkan. Selanutnya dilakukan perhitungan solar panel
yang didasarkan atas luas lahan tipikal yang tersedia pada lokasi BTS
yang ada. Ukurannya umumnya 15×15 meter persegi dikurang alokasi lahan
untuk menara. Kekurangan dayanya akan diperhitungkan dengan menggunakan
genset.
Hasil perihitungan terebut dibandingkan jika kita menggunakan genset dan baterei (CDC) dan dua unit genset (Double Genset).
4.1. Perhitungan Biaya Energi dengan Menggunakan Solar Panel
Dalam
perhitungan ini, beban BTS mengacu kepada standar tipikal BTS yang
digunakan di site seperti digambarkan pada tabel berikut ini:
Dengan
asumsi beban merata 2.4 kW sepanjang hari dan energi dari matahari yang
dapat dimanfaatkan adalah 6 jam sehari, maka dapat dilakukan
perhitungan kebtuhan energi sebagai berikut dan ukuran (dimensioning) baterei dan solar panel sebagai berikut.
Langkah
selanjutnya adalah menghitung kapasitas baterei yang dibutuhkan untuk
menyimpan energi matahari dan mem-backup beban ketika tidak ada
matahari.
Sebenarnya,
beban 2.4 kW tersebut fluktuatif setiap jam sepanjang hari. Hal ini
disebabkan konsumsi daya tergantung jumlah trafik yang ada di BTS.
Umumnya naik mulai dari jam 8 pagi hingga turun kembali setelah pukul 8
malam. Sementara itu matahari dapat dimanfaatkan secara optimal antara
pukul 10 pagi hingga pukul 4 sore. Fluktuasi beban dan pola radiasi
matahari diperlihatkan pada gambar 4.1.
Dari tabel
4.2 dan 4.3. diketahui bahwa jumlah energi yang dibutuhkan per harinya,
selama 24 jam, adalah 57.6 kWh. Energi tersebut, selama 6 jam diambil
langsung dari solar panel dan sisanya 18 jam diambil dari bateri. Akan tetapi belum termasuk pengisian baterei (charging). Untuk
menentukan total energi yang digunakan harus diperhitungkan kapasitas
backup ketika tidak ada matahari yang dikenal dengan autonomous.
Aurtonomous dibuat 1 hari (24 jam). Sehingga total energi yang
dibutuhkan per hari adalah 100.8 kWh. Energi ini diuganakan untuk
mencatu beban dan mengisi baterei. Dari tabel tabel hasil perhitungan
dapat dilihat bahwa dibutuhkan batere sebesar 8.333 Ah. Karena
kita akan menggunakan baterei 1000 Ah per bank, maka jumlah bank yang
dibutuhkan adalah 9 bank (pembulatan ke atas dari hasil perhitungan 8.3
bank). Satu bank baterei bertegangan 48 Volt, dengan kapasitas 1000 Ah
yang terdiri dari 24 blok baterei yang bertegangan 2 Volt. Jadi, total
ada 9 bank yang diparalel.
Dengan
rata-rata penyinaran 6 jam per hari dan derating factor 0.9, dan beban
kebutuhan energi seperti pada tabel 4.2 dan 4.3, maka dibutuhkan
kapasitas solar panel sebesar 18.7 kW untuk menghasilkan energi sebesar
1296 kWh per hari. Jika digunakan solar panel dengan kapasitas 240 Watt
per panel, maka jumlah panel yang dibutuhkan adalah 77.8 panel, atau
dibulatkan ke atas menjadi 78 panel.Tabel 4.4 Perhitungan Kebutuhan Solar Panel
Dengan
dimensi panel 1685 mm x 993 mm, maka ke-78 panel tersebut dapat disusun
di lokasi BTS yang umumnya memiliki ukuran tipikal 15m x 15m. Susunan solar panel diilustrasikan pada gambar 4.2.
Baterei dengan kapasitas 9 bank dapat ditempatkan di dalam kabinet di bawah solar panel.
Dengan
mengambil harga solar panel USD 2 per Watt-nya, berikut perangkat
charge controller, maka untuk kapasitas solar panel 18.7 kW diperlukan
biaya sebesar USD 37.440. Sedangkan untuk baterei, dengan menggunakan
harga baterei di pasaran rata-rata USD 10 per Ah untuk kapasitas besar,
maka investasi untuk baterei yang dibutuhkan adalah USD 90.000,- Setelah ditambah dengan inverter, total biaya menjadi USD 127,940.Tabel 4.5. Perhitungan Biaya Investasi Awal
Jika sistem
solar panel ini dioperasikan selama 4 tahun, maka total energi yang
terpakai untuk mencatu BTS dengan beban total 2.4 kW adalah 2.4kW x 4 x
365 x 24 jam atau 84,096 kWh. Sehingga diperoleh COE (cost of energy)
atau biaya per kWh-nya adalah USD 127,940/84,096 kWh atau USD 1.52/kWh.
Dengan kurs Rp 9,000/USD, maka COE nya Rp 13,692/kWh. Jika perhitungan
COE ini mengacu ke kapasitas produksi solar panel perhari, yaitu 187
kWh/hari (termasuk untuk mencatu beban dan mengisi baterei), maka COE
nya adalah USD 0.87/kWh atau Rp 7.824/kWh. Bandingkan dengan tarif PLN
ke pelanggan ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia) yang
hanya Rp 1.200/kWh. COE Solar panel masih jauh lebih tinggi dari energi
PLN. Namun, karena yang kita bahas adalah site yang berada di lokasi off grid (tanpa PLN), maka harus dibandingkan dengan CDC atau dual genset.
Dengan memasukkan parameter yang sama pada aplikasi simulasi HOMER, diperoleh hasil seperti pada gambar berikut ini:
Terdapat
perbedaan dalam hal biaya investasi. Hasil simulasi dengan HOMER adalah
USD 92,963. Sementara hasil perhitungan manual adalah USD 87,588.
Perbedaan ini disebabkan karena pada perhitungan manual, jumlah jam
dalam sehari yang terkena sinar matahari hanya 6 jam. Dengan HOMER
penrhitungan dilakukan dari fraksi jam (bukan harian seperti manual)
dengan men-simulasikan berdasarkan data yang diambil dari NASA.
Disamping itu HOMER tidak memperhitungkan autonomi 1 hari (total 24+18
jam atau 30 jam) sehingga biaya invesstasi lebih kecil.
Perbedaan
juga terjadi pada perhitungan COE. Dari hasil simulasi dengan HOMER
adalah USD 0.59/kWh, sementara perhitungan manual USD 0.83/kWh atau USD
1.04/kWh. Perbedaan ini masih disebabkan oleh biaya investasi yang
rendah di HOMER karena tidak mengantisipasi autonomi selama 30 jam.
Penyebab lainnya adalah pengambilan periode investasi yang berbeda
antara perhitungan manual dan simulasi HOMER.
4.2. Sistem Charge Discharge (CDC)
Pada kondisi
dimana PLN tidak ada (jauh dari BTS), maka upaya lain yang dapat
dilakukan adalah mengkonversi BTS yang dicatu oleh dua genset menjadi
BTS yang dicatu dari satu genset ditambah baterei atau dikenal dengan
istilah CDC (Charge DisCharge). Konversi ini lebih murah karena hanya
menambahkan satu atau beberapa bank baterei dan power supply (rectifier)
serta controller. Salah satu genset dinonaktifkan dan bisa digunakan
atau direlokasi ke site BTS lain yang membutuhkannya.
Dengan
konversi site yang beroperasi dengan dua unit genset bergantian menjadi
CDC, pemakain BBM dapat ditekan dari 24 jam hingga menjadi sekitar 6 jam
atau bahkan lebih rendah lagi, tergantung dari besarnya beban/kodnisi
trafik dan kapasitas genset yang tersedia. Tabel berikut ini
memperlihatkan contoh beban di BTS yang dikonversi dari dual genset
menjadi CDC. Dengan beban 2 kilowatt dan genset 2×20 kVA, dapat
dikonversi menjadi sistem CDC dengan siklus 3 jam charge (mengisi
baterei) dan 9 jam discharge berulang 2 kali dalam sehari atau total
dalam 24 jam genset bekerja hanya 6 jam dan battery discharge selama 18
jam. Hal ini dimungkinkan karena kapasitas genset yang berlebih dapat
digunakan untuk mengisi baterei. Setelah baterei penuh, genset istirahat bekerja dan beban dicatu oleh energi dari baterei.
Perhitungan biaya investasi CDC dan biaya operasi selama 4 tahun dapat dilihat pada tabel 4.6 dan 4.7 berikut ini.
Perhitungan
investasi CDC pada tabel 4.6 didasarkan pada beban sebesar 2 kilo Watt
seperti dirinci pada Tabel 4.1. Genset yang digunakan 20 kVA (16 kW)
pada dasarnya adalah menggunakan genset yang ada, namun dalam hal ini
dianggap sebagai investasi baru. Kapasitas 20 kVA cukup optimal untuk
CDC 6 jam charge 18 jam discharge (2 cycle per hari).
Tahun kedua
dilakukan penggantian baterei dikarenakan baterei yang ada dirancang
untuk beroperasi 1500 cycle dengan 2 cycle per hari.
Untuk
genset berkapasitas 20 kVA atau 16 kW, biaya operasional per jam
berdasarkan pengalaman di lapangan adalah USD 3.9 per jam. Biaya
tersebut sudah termasuk BBM (sekitar 3.5 liter/jam) dan pemeliharaan
rutin. Jika dihitung TCO (Total Cost of Ownership), yaitu
total CAPEX dan OPEX selama 4 tahun adalah USD 54,600 + USD 34,798 atau
USD 89,398. Dengan mengambil nilai efisiensi genset sebesar 90%, maka
energi yang dihasilkan sepanjang 4 tahun adalah 16 kW x 90% x 8760 jam
atau 126,144 kWh. Dengan
demikian biaya per kWh adalah USD 0.71 per kWh atau Rp 6,378/kWh dengan
kurs Rp 9000/USD. Kalau COE dihitung berdasarkan beban yang dicatu,
yaitu 2kW, maka selama 4 tahun energi yang digunakan oleh BTS adalah
70,080 kWh sehingga COE nya adalah USD 1.28/kWh atau sekitar Rp
11.481/kWh.
Jika
dibandingkan dengan solar panel, CDC masih lebih murah dalam hal COE.
Akan tetapi, mari kita perhatikan bersama, bahwa untuk solusi BTS dengan
total beban 2 kW, TCO solar panel masih lebih murah, yaitu USD 87,380. Sementara dengan CDC adalah USD 89,398.
Keuntungan
lain dengan solar panel adalah tidak perlu khawatir dengan pengisian
BBM, BBM dicuri ataupun pemeliharaan genset. Juga tidak perlu khawatir
genset gagal berfungsi atau gagal switch over (kerusakan ATS).
4.3. Double Genset
Sebelum
ditemukan konsep CDC, double genset pada awalnya merupakan solusi
termudah dan tercepat untuk lokasi-lokasi BTS yang tidak terjangkau oleh
jaringan PLN, setidaknya sebelum ditemukan solusi dengan menggunakan
CDC. Tabel 4.8 dan tabel 4.9 memperlihatkan biaya CAPEX dan OPEX
pembangunan double genset 15 kVA.
Penggunaan
genset dengan kapasitas 15 kVA sebenarnya berlebihan untuk BTS dengan
teknologi baru yang lebih efisien saat ini. Akan tetapi sebagian site
yang berlokasi remote tersebut juga ditempat transmisi backbone, sehingga disamping bebannya lebih besar, juga membutuhkan sistem pendingin (Air Contitioner)
OPEX
site dengan double genset terdiri dari bahann bakar (BBM) dan biaya
pemeliharaan genset. Rata-rata, berdasarkan pengalaman dan perhitungan,
per jam operasional genset membutuhkan biaya USD 4, termasuk BBM dan
pemeliharaan.
Dengan
efisiensi genset sebesar 90%, maka total energi yang dihasilkan selama 4
tahun oleh kedua genset 15 kVA (12 kW) adalah 378,432 kWh. Jika
diasumsikan load yang ada di site tersebut adalah 2 kW, maka total
energi terpakai adalah 70,080 kWh.
TCO (Total Cost Ownership) selama empat tahun untuk operasional doubel genset adalah USD 199,164. Dari biaya tersebut,dapat diperkirakan COE (Cost of Energy)
terhadap energi yang diproduksi adalah USD 0.53/ kWh atau Rp 4,736/kWh.
Jika dihitung terhadap energi yang terpakai, makah COE nya adalah USD
2.84/kWh atau Rp 25,578/kWh
5. KESIMPULAN
Di tengah
persaingan bisnis telekomunikasi yang semakin ketat, para operator mulai
berusaha melirik semua alternatif energi yang mungkin. Saaran utama
adalah menekan biaya. Faktor utama yang dilihat adalah Cost of Energy (COE) dan Total Cost of Ownership (TCO).
Dari beberapa alternatif, paling disukai adalah solar panel, karena
tidak perlu direpotkan dengan pemeliharaan rutin seperti pengisian BBM,
servis berkala dan juga masalah kegagalan seperti genset tidak bisa
start atau ATS (automatic transfer switch) tidak
berfungsi sehingga genset bisa beroperasi tapi tidak bisa menyuplai
beban dan masih banyak masalah lain. Kelebihan solar panel adalah tidak
menghasilkan polusi, baik polusi udara maupun polusi suara.
Akan tetapi, yang menjadi kendala saat ini adalah TCO solar panel yang masih relatif tinggi dibanding CDC (Charge Dis-Charge) misalnya. Selain itu masalah luas area juga menjadi masalah.
Dari uraian di atas, berikut ini ringkasan COE dan TCO untuk masing-masing sumber energi yang mungkin digunakan.
PLN
memang paling murah, tapi tidak semua lokasi tersedia jaringan PLN.
Alternatif yang paling mungkin adalah CDC. Namun demikian, dengan
semakin kecilnya konsumsi energi BTS jenis baru dan semakin murahnya
harga solar panel bukana tidak mungkin dalam waktu dekat ini solar panel
menjadi sumber energi utama bagi BTS-BTS, setidaknya di wilayah yang
tidak terdapat jaringan PLN.
6. DAFTAR PUSTAKA
Bharti Airtel, presentation on Green Power for Mobile
LAPAN: Wind Speed Map dan Irradation Map
Qtel Power Expert Group
http://energiterbarukanindonesia.com/
http://www.engineeringtoolbox.com/
http://www.greenspec.co.uk/small-wind-turbines.php
http://www.nrel.gov/
http://www.volker-quaschning.de/articles/fundamentals1/index.php
LAPAN: Wind Speed Map dan Irradation Map
Qtel Power Expert Group
http://energiterbarukanindonesia.com/
http://www.engineeringtoolbox.com/
http://www.greenspec.co.uk/small-wind-turbines.php
http://www.nrel.gov/
http://www.volker-quaschning.de/articles/fundamentals1/index.php
No comments:
Post a Comment